Cari Blog Ini

Kamis, 02 April 2015

Hadits Dha'if Berdasarkan Terputusnya Sanad



HADITS DHAIF DARI SEGI TERPUTUSNYA SANAD
MAKALAH
Kelas PM-4B
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Ikhrom, M.Ag

Disusun Oleh:
Rosaliatul Ulfa Ardie (133511058)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Karena sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan keharusan bagi setiap muslim. Karena, untuk beramal dengan ajaran-ajaran yang terdapat dalam hadits-hadits Nabi, seseorang minimal harus mengetahui hal-hal yang diajarkan di dalamnya. Di samping memahami dan mengkaji hadits, mempelajari ilmu hadits juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal ihwal yang terkait dengan hadits Nabi khususnya dari segi dapat tidaknya dijadikan hujjah atau dalil agama Islam.
Berdasarkan sistematika pembagiannya, hadits dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah dilihat dari segi  kualitasnya. Dilihat dari segi kualitasnya, hadits dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dha’if. Hadits dha’if dapat didefinisikan sebagai hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Jika suatu hadits kehilangan dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabith, atau terdapat kejanggalan dalam matannya, maka hadits tersebut dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah.
Berdasarkan sistematika pembagiaannya, hadits dha’if dapat dilihat dari segi terputusnya sanad dan dari segi selain terputusnaya sanad. Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas pembagian hadits dha’if dari segi terputusnya sanad.  

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hadits dhaif?
2.      Apa saja kriteria-kriteria Hadits dha’if?
3.      Apa saja macam-macam hadits dhaif dilihat dari segi terputusnya sanad?
4.      Bagaimana urutan antara masing-masing hadist tersebut dilihat dari tingkat kedhaifannya?















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits Dhaif
Secara bahasa, kata dhaif adalah lawan dari al-qowiy, yang berarti “lemah”, maka sebutan hadits dhaif  dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Secara istilah, di antara para ulama terdapat perbedaan rumusan dan mendefinisikan hadits dhaif  ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat di lihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikan hadits dhaif sebagai berikut.
مَا لَمْ يُوْجَدُ فِيْهِ شُرُوْطُ اصِّحَّةِ وَلاَ شُرُوْطُ الحَسَنِ
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.
            Muhammad ‘Ajjaj al-khathib menyatakan bahwa definisi hadits dha’if  adalah:
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.
            Sifat-sifat maqbul dalam definisi di atas maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadits shahih dan hadits hasan, karena keduanya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut:
الحَدِيْثُ الَّذِى لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ الحَسَنِ
Hadits yang di dalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadits sahih dan sifat-sifat hadits hasan”.
            Menurut Nur al-Din ‘Itr, definisi yang paling baik tentang hadits dha’if  adalah:
مَا فَقِدَ ِشَرطًا مِن شُرُوطِ الحَدِيْثِ الْقَبُوْلِ
Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul”.
            Maksudnya, suatu hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadits shahih atau hasan dinyatakan sebagai hadits dha’if  yang berarti hadits itu tertolak (mardud) untuk dijadikan sebagai hujjah.[1] Lebih-lebih jika yang hilang itu samapai dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if  yang sangat lemah.[2]

B.     Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Pada definisi di atas terlihat bahwa hadits dha’if tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadits sahih atau hadits hasan. Kriteria-kriteria hadits shahih adalah:
1.      Sanadnya bersambung.
2.      Periwayat adil.
3.      Periwayat dhabith.
4.      Terlepas dari syadz (kejanggalan)
5.      Terhindar dari illat (cacat).
Adapun kriteria-kriteria hadits hasan adalah:
1.      Sanadnya bersambung.
2.      Periwayat adil.
3.      Periwayat kurang dhabith.
4.      Terlepas dari syadz (kejanggalan).
5.      Terhindar dari illat (cacat).
Berhubung hadits dha’if  tidak memenuhi salah satu dari beberapa kriteria di atas, maka kriteria-kriteria hadits dha’if  adalah :
1.      Sanadnya terputus.
2.      Periwayatnya tidak adil.
3.      Periwayat tidak dhabith.
4.      Mengandung syadz (kejanggalan).
5.      Mengandung illat (cacat).[3]

C.    Hadits Dha’if  Karena Sanadnya Terputus
Maksud dari sanad terputus adalah apabila dalam periwayatan terdapat perawi yang gugur dari rentetan sanad. Gugurnya perawi dalam sanad dapat berbeda-beda tempatnya. Ada yang gugur dari awal, di tengah dan di akhir. Bisa juga gugurnya dibeberapa tempat secara berurutan atau tidak berurutan.
Dalam kaitan dengan keterputusan sanad, hadits dha’if  dibagi menjadi tujuh macam, yaitu: hadits mauquf, hadits mursal, hadist maqthu’, hadits hadits munqathi’, hadits mu’dhal, hadits mu’allaq, dan hadits mudallas
1.      Hadits Mauquf
Hadis mauquf adalah adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir.[4]
Contoh hadits mauquf :
قَالَ يَزِيْدُ بْنُ حَارِثَةَ : لَا اِيْمَانَ لِمَنْ لَا حَيَاءَ لَهُ
Yazid bin Haris berkata: Tidaklah beriman seseorang yang tidak mempunyai malu[5]
2.      Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in.[6] sebuah hadits disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’in langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat. Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa halangan.
Sedangkan secara terminologis, mayoritas ulama hadits mendefinisikan hadits mursal dengan hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi;I, baik tabi’i besar maupun tabi’i kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat nabi.
Pada dasarnya hukum hadits mursal adalah mardud, karena terputusnya jalur sanad. Namun, para ulama baik dari kalangan ahli hadits maupun lainnya berbeda pendapat tentang hukum hadits mursal ini.
Sebab perbedaan ini adalah karena adanya kemungkinan sanad yang hilang pada hadits mursal ini adalah seorang shahabat. Dan kita pahami bersama, seluruh shahabat adil, hingga jika diketahui hadits tersebut dari shahabat (walaupun nama shahabat tersebut tak disebutkan) haditsnya tetap shahih. Namun, keterputusan hadits mursal ini juga ada kemungkinan bukan hanya di shahabat, karena bisa saja seorang tabi’in meriwayatkan hadits dari tabi’in lainnya, bukan langsung dari shahabat.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadis, hadis ini terbagi pada mursal jali, mursal shahabi, dan mursal khafi.
a.    Mursal Jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabiin) sangat jelas untuk diketahui, bahwa orang yang menggugurkan itu tidak hidup sezaman/semasa dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
b.    Mursal Shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat itu sahabat tersebut masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam.
c.    Mursal Khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tabiin yang hidup sezaman dengan shahabi tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadispun darinya.
Contoh hadits mursal :
قال سَعِيدٌ بْنُ الْمُسَيّبِ و هو مِن التّابعينَ : قال رسول الله : بَيْنَنا وَ بَيْنَ الْمُنَافِقِيْنَ شُهُود
 الْعِشَاءِ و الصُّبْحِ لا يَسْتَطِيْعُونهُ
Sa’id bin Musayyab berkata... : “Perbedaan antara kita dengan orang-orang munafik ialah bahwa orang-orang munafik itu tidak suka (malas) mengerjakan sembahyang ‘Isya dan Subuh”.
3.      Hadits Maqtu’
hadits maqtu’ berasal dari kata qatha’a (memotong). Secara istilah berarti hadits yang disandarkan kepada seorang tabi’I atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan, atau hadits yang diriwayatkan dari para tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan. Dengan kata lain. Hadits maqtu’ adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan tabi’in atau orang-orang sesudah mereka. Disebut maqtu’  karena hadits ini terpotong, yaitu sandaranya dipotong hanya sampai tabi’in.[7]
Contoh hadits Maqtu’ :
مِنْ تَمَامِ الْحَجِّ ضَرْبُ اْلجِمَالِ قاله الاعمش
 Haji yang sempurna ialah dengan mengendarai unta.” Ini adalah perkataan dari salah seorang tabi’in bernama A’masy.[8]
4.      Hadits Munqathi’
Keterputusan sanad di tengah dapat terjadi pada satu sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak. Jika keterputusan terjadi di tengah sanad pada satu tempat atau dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut, hadits yang bersangkutan dinamakan hadits munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang berarti: berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.
Tentang definisi hadits munqathi’, para ulama berbeda pendapat. Berikut dikemukakan beberapa definisi hadits munqathi’ yaitu:
a.         Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus di bagian mana saja, baik pada sanad terakhir atau periwayat pertama (sahabat) maupun bukan sahabat (selain periwayat pertama)
b.        Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus, karena periwayat yang tidak berstatus sebagai sahabat Nabi maupun tabi’in menyatakan menerima hadits dari Nabi. Sanad hadits terputus pada peringkat sahabat dan tabi’in.
c.         Hadits munqathi’ adalah hadits yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang atau tidak jelas.
d.        Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya ada periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
e.         Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas.
f.         Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya di bagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus seorang atau lebih tidak secara berturut dan tidak terjadi di awal sanad.
g.        Hadits munqathi’ adalah pernyataan atau perbuatan tabi’in.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat.
Untuk mengetahui keterputusan sanad (al-inqitha’) pada hadits munqathi’ dapat diketahui dengan tiga cara:
a.         Dengan jelas, yaitu periwayat yang meriwayatkan hadits dapat diketahui dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits kepadanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat izin (ijazah) untuk meriwayatkan haditsnya. Hal ini dapat dilihat dari tahun lahir dan atau wafat mereka.
b.        Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir dan atau wafat periwayat, maka keterputusan hadits munqathi’ hanya diketahui oleh orang yang ahli saja.
c.         Dengan komparasi, yaitu dengan memperbandingkan hadits-hadits dengan hadits lain yang senada sehingga diketahui apakah hadits tetentu munqathi’ atau bukan.[9]
Contoh hadits munqathi’ :
رواه البيهقى و قال انه منقطع مَنْهوْمانِ لا يَشْبَعانِ طالِبُ الْعِلْمِ و طالِبُ الدّنْيا
 “Dua macam manusia yang tidak akan kenyang (puas) selama-lamanya, ialah penuntut ilmu dan penuntut dunia”. (Riwayat Baihaqi, katanya Hadits Munqathi’).
Kalau sekiranya dalam sanad hadits itu tidak disebutkan seorang rawinya sebelum sahabat. Maka hadits itu dinamai hadits munqathi’.
5.      Hadits Mu’dhal
Jika keterputusan (al-inqitha’) secara berturut-turut dan terjadi di tengah sanad, maka haditsnya  maka haditsnya dinamakan hadits mu’dhal. Kata mu’dhal berasal dari kata kerja ‘adhala yang berarti melemahkan, melelahkan, menutup rapat, atau menjadikan bercacat. Kata mu’dhal digunakan untuk jenis hadits tertentu karena pada hadits itu ada bagian sanadnya yang lemah, tertutup, atau bercacat.
Sedangkan secara terminologis hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang perawinya atau lebih secara berturut-turut, baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau para perawi lainya. [10]
Contoh Hadits Mu’dhal: Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifah ‘Uluum al-Hadits, berdasarkan sanadnya dari Al-Qa’nabi, dari Malik, bahwa ia menyampaikan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف، ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق
Artinya: “Seorang mamluuk berhak mendapatkan makanan dan pakaian secara ma’ruf, dan ia tidak boleh dibebani kerja, kecuali yang ia sanggup lakukan.”
Al-Hakim berkata: Hadits ini mu’dhal dari Malik, ia me-mu’dhal-kannya dalam al-Muwaththa.
Hadits ini mu’dhal karena terdapat dua rawi yang dihilangkan antara Malik dan Abu Hurairah. Dan ini diketahui setelah melihat periwayatan hadits yang sama di luar kitab al-Muwaththa, yang jalurnya adalah dari Malik, dari Muhammad ibn ‘Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah.
6.      Hadits Mu’allaq
Yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuannya, pada awal sanad, yaitu guru dari seorang imam hadits. “menggugurkan hadits disebut ta’liq.
Di dalam shahih Al-Bukhory banyak terdapat, hadits mu’allaq tetapi diberi hukum muttashil, walaupun derajatnya dipandang tidak setingkat dengan yang muttashil sendiri, terkecuali jika disanadkan pada tempat yang lain.
Ulama berkata bahwa hadits mu’allaq yang diriwayatkan oleh Al-Bukhory dengan terang dan tegas menyebut nama pemberitaannya, seperti beliau katakan “Qala Ibnu Abbas… (Ibnu Abbas berkata…)”, dihukumi shahih. Jika beliau meriwayatkan dengan tidak tegas, yakni dengan shighah tamridh, yakni tidak menyebut nama yang meriwayatkan, seperti beliau berkata, “ dikatakan bahwa Nabi berbuat…” tidak dipandang shahih.
Hadits mu’allaq adalah hadits yang terputus di awal sanad. Kata mu’allaq secara bahasa berarti tergantung. Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti bergantung itu diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung) dan ta’liq al-jidar (dinding tergantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan sambungan.[11]
Contoh hadits muallaq :
قَالَ الْبُخَارى : قالَتْ عَائشة رضي الله عَنْهَا : كَانَ النَّبِىُّ يَذْكُرُ اللهَ على كُلِّ اَحْوالِهِ
Buchari berkata : Aisyah telah berkata : adalah Nabi selalu mengingat Allah pada segala keadaanya”. (Riwayat Buchari)
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah. Antara Buchari dengan Aisyah ada beberapa orang yang tidak disebutkan namanya, sebab itu hadits tersebut dinamakan Hadits Mu’allaq.
D.    Urutan Antara Masing-Masing Hadits Tersebut Dilihat Dari Tingkat Kedhaifannya
            Karena sebab-sebab kedhaifan hadis itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka tingkatan hadis dhaif itu dengan sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar kelemahannya kecil sehingga hampir-hampir dihukumi sebagai hadis hasan dan ada yang terlalu dhaif.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
Tingkatan hadits dha’if  adalah: a). Hadits Mauquf b). Hadits Mursal. c). Hadits Maqthu’d). Hadits Munqati' e). Hadits Mu'dhal f). Hadits Mu'allaq g). Hadits Mudallas.[12]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadits dhaif ialah hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima).
Hadits dhoif berdasarkan terputusnya sanad terbagi menjadi tujuh bagian yaitu :
1.      Hadits Mauquf
2.      Hadits Maqthu’
3.      Hadits Mu’allaq
4.      Hadits Mu’dhal
5.      Hadits Mursal
6.      Hadits Mudallas
7.      Hadits Munqathi’
Karena sebab-sebab kedhaifan hadis itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka tingkatan hadis dhaif itu dengan sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar kelemahannya kecil sehingga hampir-hampir dihukumi sebagai hadis hasan dan ada yang terlalu dhaif.

B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis paparkan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, guna menyempurnakan dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, amien.

DAFTAR PUSTAKA
Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana, 2013.
Nuruddin, Ulumul Hadits, Bandung : PT Remaja Posdakarya, 2012
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Suyadi, Agus, Ulumul Hadits, Bandung : PT Shantika, 2008.





[1] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 177-178
[2] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 118-119
[3]Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 178-179
[4] Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung : PT Shantika, 2008), hlm. 155
[5]  Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung : PT Shantika, 2008), hlm. 35
[6] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 119

[7] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 202
[8] Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung : PT Shantika, 2008), hlm.156

[9] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 187-188
[10] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 189
[11] Idri, Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 179
[12] Nuruddin, Ulumul Hadits, (Bandung : PT Remaja Posdakarya, 2012)  hlm. 294

Tidak ada komentar:

Posting Komentar