HADITS
DHAIF DARI SEGI TERPUTUSNYA SANAD
MAKALAH
Kelas PM-4B
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Ikhrom, M.Ag

Disusun Oleh:
Rosaliatul Ulfa Ardie (133511058)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang
setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di
dalamnya. Karena sifatnya yang demikian, maka mempelajari hadits juga merupakan
keharusan bagi setiap muslim. Karena, untuk beramal dengan ajaran-ajaran yang
terdapat dalam hadits-hadits Nabi, seseorang minimal harus mengetahui hal-hal
yang diajarkan di dalamnya. Di samping memahami dan mengkaji hadits,
mempelajari ilmu hadits juga menjadi keniscayaan, karena ilmu ini membahas hal
ihwal yang terkait dengan hadits Nabi khususnya dari segi dapat tidaknya
dijadikan hujjah atau dalil agama Islam.
Berdasarkan sistematika pembagiannya, hadits dapat dilihat
dari berbagai aspek, salah satunya adalah dilihat dari segi kualitasnya. Dilihat
dari segi kualitasnya, hadits dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu
hadits shahih, hadits hasan, hadits dha’if. Hadits dha’if
dapat didefinisikan sebagai hadits yang kehilangan salah satu syarat dari
syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Jika suatu hadits
kehilangan dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabith,
atau terdapat kejanggalan dalam matannya, maka hadits tersebut dinyatakan
sebagai hadits dha’if yang sangat lemah.
Berdasarkan sistematika pembagiaannya, hadits dha’if
dapat dilihat dari segi terputusnya sanad dan dari segi selain terputusnaya
sanad. Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas pembagian hadits dha’if
dari segi terputusnya sanad.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian hadits dhaif?
2.
Apa saja kriteria-kriteria Hadits dha’if?
3.
Apa
saja macam-macam hadits dhaif dilihat dari segi terputusnya sanad?
4.
Bagaimana urutan antara masing-masing hadist tersebut
dilihat dari tingkat kedhaifannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadits Dhaif
Secara bahasa, kata dhaif
adalah lawan dari al-qowiy, yang berarti “lemah”, maka sebutan hadits dhaif
dari segi bahasa berarti hadits yang
lemah atau hadits yang tidak kuat.
Secara istilah, di antara para ulama
terdapat perbedaan rumusan dan mendefinisikan hadits dhaif ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan
maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat di lihat di bawah
ini.
An-Nawawi mendefinisikan hadits dhaif
sebagai berikut.
مَا
لَمْ يُوْجَدُ فِيْهِ
شُرُوْطُ اصِّحَّةِ وَلاَ شُرُوْطُ الحَسَنِ
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat
syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan”.
Muhammad
‘Ajjaj al-khathib menyatakan bahwa definisi hadits dha’if adalah:
كُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَةُ الْقَبُوْلِ
“segala
hadits yang di dalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.
Sifat-sifat
maqbul dalam definisi di atas maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat
dalam hadits shahih dan hadits hasan, karena keduanya memenuhi
sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan
definisi berikut:
الحَدِيْثُ الَّذِى لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الصَّحِيْحِ وَلاَ صِفَاتُ
الحَسَنِ
“ Hadits
yang di dalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadits sahih dan sifat-sifat
hadits hasan”.
Menurut Nur al-Din ‘Itr, definisi yang paling
baik tentang hadits dha’if
adalah:
مَا فَقِدَ ِشَرطًا مِن شُرُوطِ
الحَدِيْثِ الْقَبُوْلِ
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari
syarat-syarat hadits maqbul”.
Maksudnya,
suatu hadits yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadits shahih
atau hasan dinyatakan sebagai hadits dha’if yang berarti hadits itu tertolak (mardud) untuk
dijadikan sebagai hujjah.[1]
Lebih-lebih jika yang hilang itu samapai dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak adil, tidak dhabit, dan adanya kejanggalan dalam matan.
Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah.[2]
B. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Pada definisi di atas terlihat bahwa hadits dha’if tidak memenuhi
salah satu dari kriteria hadits sahih atau hadits hasan.
Kriteria-kriteria hadits shahih adalah:
1. Sanadnya bersambung.
2. Periwayat adil.
3. Periwayat dhabith.
4. Terlepas dari syadz (kejanggalan)
5. Terhindar dari illat (cacat).
Adapun kriteria-kriteria hadits hasan adalah:
1. Sanadnya bersambung.
2. Periwayat adil.
3. Periwayat kurang dhabith.
4. Terlepas dari syadz (kejanggalan).
5. Terhindar dari illat (cacat).
Berhubung hadits dha’if tidak
memenuhi salah satu dari beberapa kriteria di atas, maka kriteria-kriteria
hadits dha’if adalah :
1. Sanadnya terputus.
2. Periwayatnya tidak adil.
3. Periwayat tidak dhabith.
4. Mengandung syadz (kejanggalan).
5. Mengandung illat (cacat).[3]
C. Hadits Dha’if Karena Sanadnya Terputus
Maksud dari
sanad terputus adalah apabila dalam periwayatan terdapat perawi yang gugur dari
rentetan sanad. Gugurnya perawi dalam sanad dapat berbeda-beda tempatnya. Ada
yang gugur dari awal, di tengah dan di akhir. Bisa juga gugurnya dibeberapa
tempat secara berurutan atau tidak berurutan.
Dalam kaitan dengan keterputusan sanad, hadits dha’if dibagi
menjadi tujuh
macam, yaitu: hadits
mauquf, hadits mursal, hadist maqthu’,
hadits hadits munqathi’, hadits mu’dhal, hadits mu’allaq, dan hadits mudallas
1. Hadits
Mauquf
Hadis
mauquf adalah adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir.[4]
Contoh
hadits mauquf :
قَالَ يَزِيْدُ بْنُ حَارِثَةَ : لَا اِيْمَانَ لِمَنْ لَا
حَيَاءَ لَهُ
“Yazid bin Haris berkata: Tidaklah beriman
seseorang yang tidak mempunyai malu”[5]
2. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits
yang gugur sanadnya setelah tabi’in.[6]
sebuah hadits disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’in langsung
dari Nabi tanpa menyebut sahabat. Kata mursal secara bahasa berarti
lepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa halangan.
Sedangkan secara terminologis,
mayoritas ulama hadits mendefinisikan hadits mursal dengan hadits yang
disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi;I, baik tabi’i besar maupun
tabi’i kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat nabi.
Pada dasarnya hukum hadits mursal
adalah mardud, karena terputusnya jalur sanad. Namun, para ulama baik dari
kalangan ahli hadits maupun lainnya berbeda pendapat tentang hukum hadits
mursal ini.
Sebab perbedaan ini adalah karena
adanya kemungkinan sanad yang hilang pada hadits mursal ini adalah seorang
shahabat. Dan kita pahami bersama, seluruh shahabat adil, hingga jika diketahui
hadits tersebut dari shahabat (walaupun nama shahabat tersebut tak disebutkan)
haditsnya tetap shahih. Namun, keterputusan hadits mursal ini juga ada
kemungkinan bukan hanya di shahabat, karena bisa saja seorang tabi’in meriwayatkan
hadits dari tabi’in lainnya, bukan langsung dari shahabat.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi
siapa yang menggugurkan dan segi sifat-sifat pengguguran hadis, hadis ini
terbagi pada mursal jali, mursal shahabi, dan mursal khafi.
a. Mursal
Jali, yaitu bila pengguguran yang telah
dilakukan oleh rawi (tabiin) sangat jelas untuk diketahui, bahwa orang yang
menggugurkan itu tidak hidup sezaman/semasa dengan orang yang digugurkan yang
mempunyai berita.
b. Mursal
Shahabi, yaitu
pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi ia tidak
mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat itu
sahabat tersebut masih kecil atau terakhir masuknya ke dalam agama Islam.
c. Mursal
Khafi, yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh tabiin yang hidup sezaman dengan shahabi tetapi ia
tidak pernah mendengar sebuah hadispun darinya.
Contoh hadits mursal :
قال سَعِيدٌ بْنُ الْمُسَيّبِ و هو
مِن التّابعينَ : قال رسول الله : بَيْنَنا وَ بَيْنَ الْمُنَافِقِيْنَ شُهُود
الْعِشَاءِ و الصُّبْحِ لا يَسْتَطِيْعُونهُ
Sa’id bin Musayyab berkata... :
“Perbedaan antara kita dengan orang-orang munafik ialah bahwa orang-orang
munafik itu tidak suka (malas) mengerjakan sembahyang ‘Isya dan Subuh”.
3. Hadits Maqtu’
hadits maqtu’ berasal dari
kata qatha’a (memotong). Secara istilah berarti hadits yang disandarkan
kepada seorang tabi’I atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan, atau
hadits yang diriwayatkan dari para tabi’in berupa perkataan, perbuatan, atau
ketetapan. Dengan kata lain. Hadits maqtu’ adalah perkataan, perbuatan,
atau ketetapan tabi’in atau orang-orang sesudah mereka. Disebut maqtu’ karena hadits ini terpotong, yaitu sandaranya
dipotong hanya sampai tabi’in.[7]
Contoh hadits Maqtu’ :
مِنْ تَمَامِ الْحَجِّ ضَرْبُ اْلجِمَالِ قاله الاعمش
“Haji
yang sempurna ialah dengan mengendarai unta.” Ini adalah perkataan dari
salah seorang tabi’in bernama A’masy.[8]
4. Hadits Munqathi’
Keterputusan sanad di tengah dapat
terjadi pada satu sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak. Jika
keterputusan terjadi di tengah sanad pada satu tempat atau dua tempat dalam
keadaan tidak berturut-turut, hadits yang bersangkutan dinamakan hadits munqathi’.
Kata munqathi’ berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang berarti:
berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.
Tentang definisi hadits munqathi’,
para ulama berbeda pendapat. Berikut dikemukakan beberapa definisi hadits munqathi’
yaitu:
a.
Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus
di bagian mana saja, baik pada sanad terakhir atau periwayat pertama (sahabat)
maupun bukan sahabat (selain periwayat pertama)
b.
Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya
terputus, karena periwayat yang tidak berstatus sebagai sahabat Nabi maupun
tabi’in menyatakan menerima hadits dari Nabi. Sanad hadits terputus pada
peringkat sahabat dan tabi’in.
c.
Hadits munqathi’ adalah hadits yang bagian sanadnya
sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang atau tidak jelas.
d.
Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya ada
periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
e.
Hadits munqathi’ adalah hadits yang dalam sanadnya
ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas.
f.
Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya di
bagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus seorang atau lebih tidak
secara berturut dan tidak terjadi di awal sanad.
g.
Hadits munqathi’ adalah pernyataan atau perbuatan
tabi’in.
Berdasarkan definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang tidak disebutkan
seorang rawinya sebelum sahabat.
Untuk mengetahui keterputusan sanad
(al-inqitha’) pada hadits munqathi’ dapat diketahui dengan tiga
cara:
a.
Dengan jelas, yaitu periwayat yang meriwayatkan hadits dapat
diketahui dengan pasti tidak sezaman dengan guru yang memberikan hadits
kepadanya atau ia hidup sezaman dengan gurunya, tetapi tidak mendapat izin
(ijazah) untuk meriwayatkan haditsnya. Hal ini dapat dilihat dari tahun lahir
dan atau wafat mereka.
b.
Dengan samar-samar, yaitu karena tidak ada tahun lahir dan
atau wafat periwayat, maka keterputusan hadits munqathi’ hanya diketahui
oleh orang yang ahli saja.
c.
Dengan komparasi, yaitu dengan memperbandingkan
hadits-hadits dengan hadits lain yang senada sehingga diketahui apakah hadits
tetentu munqathi’ atau bukan.[9]
Contoh hadits munqathi’ :
رواه البيهقى و قال انه منقطع مَنْهوْمانِ
لا يَشْبَعانِ طالِبُ الْعِلْمِ و طالِبُ الدّنْيا
“Dua macam manusia yang tidak akan kenyang
(puas) selama-lamanya, ialah penuntut ilmu dan penuntut dunia”. (Riwayat
Baihaqi, katanya Hadits Munqathi’).
Kalau sekiranya dalam sanad hadits itu tidak disebutkan
seorang rawinya sebelum sahabat. Maka hadits itu dinamai hadits munqathi’.
5. Hadits Mu’dhal
Jika keterputusan (al-inqitha’)
secara berturut-turut dan terjadi di tengah sanad, maka haditsnya maka haditsnya dinamakan hadits mu’dhal.
Kata mu’dhal berasal dari kata kerja ‘adhala yang berarti
melemahkan, melelahkan, menutup rapat, atau menjadikan bercacat. Kata mu’dhal
digunakan untuk jenis hadits tertentu karena pada hadits itu ada bagian
sanadnya yang lemah, tertutup, atau bercacat.
Sedangkan secara terminologis hadits
mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang perawinya atau lebih secara
berturut-turut, baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau para
perawi lainya. [10]
Contoh Hadits Mu’dhal: Hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Ma’rifah ‘Uluum al-Hadits,
berdasarkan sanadnya dari Al-Qa’nabi, dari Malik, bahwa ia menyampaikan dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف، ولا يكلف من العمل إلا ما يطيق
Artinya: “Seorang mamluuk berhak mendapatkan makanan dan
pakaian secara ma’ruf, dan ia tidak boleh dibebani kerja, kecuali yang ia
sanggup lakukan.”
Al-Hakim berkata: Hadits ini mu’dhal dari Malik, ia me-mu’dhal-kannya
dalam al-Muwaththa.
Hadits ini mu’dhal karena terdapat
dua rawi yang dihilangkan antara Malik dan Abu Hurairah. Dan ini diketahui
setelah melihat periwayatan hadits yang sama di luar kitab al-Muwaththa, yang
jalurnya adalah dari Malik, dari Muhammad ibn ‘Ajlan, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah.
6.
Hadits Mu’allaq
Yaitu hadits yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang,
baik semuannya, pada awal sanad, yaitu guru dari seorang imam hadits.
“menggugurkan hadits disebut ta’liq.
Di dalam shahih Al-Bukhory banyak terdapat, hadits mu’allaq
tetapi diberi hukum muttashil, walaupun derajatnya dipandang tidak
setingkat dengan yang muttashil sendiri, terkecuali jika disanadkan pada
tempat yang lain.
Ulama berkata bahwa hadits mu’allaq yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhory dengan terang dan tegas menyebut nama pemberitaannya, seperti beliau
katakan “Qala Ibnu Abbas… (Ibnu Abbas berkata…)”, dihukumi shahih.
Jika beliau meriwayatkan dengan tidak tegas, yakni dengan shighah tamridh, yakni
tidak menyebut nama yang meriwayatkan, seperti beliau berkata, “ dikatakan
bahwa Nabi berbuat…” tidak dipandang shahih.
Hadits mu’allaq adalah hadits yang terputus di awal sanad.
Kata mu’allaq secara bahasa berarti tergantung. Sebagian ulama
menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti bergantung itu
diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq (cerai gantung) dan ta’liq
al-jidar (dinding tergantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal
keterputusan sambungan.[11]
Contoh hadits muallaq :
قَالَ الْبُخَارى : قالَتْ عَائشة رضي الله عَنْهَا : كَانَ
النَّبِىُّ يَذْكُرُ اللهَ على كُلِّ اَحْوالِهِ
“Buchari berkata :
Aisyah telah berkata : adalah Nabi selalu mengingat Allah pada segala keadaanya”.
(Riwayat Buchari)
Disini Bukhari tidak
menyebutkan rawi sebelum Aisyah. Antara Buchari dengan Aisyah ada beberapa orang yang tidak
disebutkan namanya, sebab itu hadits tersebut dinamakan Hadits Mu’allaq.
D. Urutan Antara Masing-Masing Hadits Tersebut Dilihat Dari
Tingkat Kedhaifannya
Karena
sebab-sebab kedhaifan hadis itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka
tingkatan hadis dhaif itu dengan sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar
kelemahannya kecil sehingga hampir-hampir dihukumi sebagai hadis hasan dan ada
yang terlalu dhaif.
Ilustrasi sanad : Pencatat
Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur
1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
Tingkatan hadits dha’if adalah: a). Hadits Mauquf b). Hadits Mursal. c). Hadits
Maqthu’d). Hadits Munqati' e). Hadits Mu'dhal f). Hadits Mu'allaq g). Hadits
Mudallas.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits dhaif ialah hadits yang
kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima).
Hadits dhoif berdasarkan terputusnya sanad terbagi menjadi
tujuh bagian yaitu :
1. Hadits Mauquf
2. Hadits Maqthu’
3. Hadits Mu’allaq
4. Hadits Mu’dhal
5. Hadits Mursal
6.
Hadits Mudallas
7.
Hadits Munqathi’
Karena sebab-sebab kedhaifan hadis
itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka tingkatan hadis dhaif itu
dengan sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar kelemahannya kecil sehingga
hampir-hampir dihukumi sebagai hadis hasan dan ada yang terlalu dhaif.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini penulis
paparkan, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, guna menyempurnakan dalam penyusunan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat, amien.
DAFTAR PUSTAKA
Idri, Studi Hadits, Jakarta: Kencana,
2013.
Nuruddin,
Ulumul Hadits, Bandung : PT Remaja Posdakarya, 2012
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010.
Suyadi,
Agus, Ulumul Hadits, Bandung : PT Shantika, 2008.
Abu Furqan al-Banjary, 'Ulumul Hadits, http://www.abufurqan.net/hadits-dhaif-karena-terputusnya-sanad-secara-zhahir/, diakses pada tanggal 1 april 2015
[1]
Idri, Studi Hadits, (Jakarta:
Kencana, 2013), hlm. 177-178
[2]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 118-119
[4]
Agus Suyadi, Ulumul
Hadits, (Bandung : PT Shantika, 2008), hlm. 155
[6]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 119
[7]
Idri, Studi Hadits, (Jakarta:
Kencana, 2013), hlm. 202
[8] Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung :
PT Shantika, 2008), hlm.156
[9]
Idri, Studi Hadits, (Jakarta:
Kencana, 2013), hlm. 187-188
[12]
Nuruddin, Ulumul
Hadits, (Bandung : PT Remaja Posdakarya, 2012) hlm. 294
Tidak ada komentar:
Posting Komentar