INTERRELASI NILAI ISLAM DAN JAWA DALAM ASPEK ARSITEKTUR
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI

Oleh:
1.
Hidayati Azizah Ernawati (133511050)
2.
Nailil Muna Auliya (133511045)
3.
Moch. Asyroful Minan (133511054)
4.
Irma Farikhah (133511057)
5.
Rosaliatul Ulfa Ardie (133511058)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
INTERRELASI NILAI ISLAM DAN JAWA DALAM ASPEK ARSITEKTUR
I.
PENDAHULUAN
Sejak Islam
masuk di Jawa, Islam bertemu dengan nilai-nilai Hindu Budha yang sudah mengakar
kuat di kalangan masyarakat. Tentu saja
nilai-nilai dari Hindu Budha pun sebelumnya telah mengakomodasi nilai religi
animisme dan dinamisme sebagai nilai yang telah mengalami percampuran, yang
kemudian disebut sebagai nilai-nilai kebudayaan Jawa.
Ketika Islam
datang dan berinteraksi dengan nilai-nilai lama tersebut, masyarakat sering
menyebutnya sebagai nilai-nilai kebudayaan Jawa. Nilai-nilai kebudayaan yang
berkembang juga menyangkut bidang arsitektur. Mark R. Woodward (1985)
mengatakan bahwa Islam Jawa bagaimanapun juga berakar pada tradisi dan teks
suci Islam itu sendiri. Menurutnya penting untuk mengetahui pola hubungan
simbolik antara teks suci dan situasi historis umat islam, sehingga kita bisa
melihat kehadiran arsitektur yang memadukan nilai islam (Timur Tengah) dengan
karakteristik lokal (Jawa) yang sudah berkembang. Menurut Jauharotul Huda
pemikiran Mark R. Woodward di atas mengindikasikan sebagai salah satu produk
budaya arsitektur di Jawa juga merupakan bagian dari interpretasi teks dalam
kehidupan orang Jawa yang menyejarah.
Pandangan di
atas akan membantah opini dimana islam Jawa sering dipandang sebagai islam
sinkretik atau islam nominal, yang konsekuensinya Islam Jawa bukanlah Islam
dalam arti sebenarnya. Oleh karena itu penting pula memahami interelasi Islam
Jawa pada bidang arsitektur. Mengingat arsitektur (secara fisik) menunjukkan
keberadaan perkembangan budaya suatu daerah, misalnya dari bangunan tempat
ibadah, makam, tata ruang kota, dan lain-lain. Sehingga dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai interelasi Islam dan Budaya Jawa pada aspek arsitektur.
II.
PERMASALAHAN
A.
Apa pengertian
arsitektur Islam?
B.
Bagaimana
sejarah arsitektur dalam Islam?
C.
Apa saja
macam-macam arsitektur Jawa Islam?
D.
Bagaimana pola
interelasi nilai Jawa dan Islam pada aspek arsitektur?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Arsitektur Islam
Kata Arsitektur
berasal dari bahasa Yunani, yaitu : architekton yang terbentuk dari dua
suku kata, yakni arkhe yang bermakna asli, awal, otentik, dan tektoo yang
bermakna berdiri stabil, dan kokoh. Arsitektur Islam adalah ilmu dan seni
merancang bangunan, kumpulan bangunan, struktur lain yang fungsional, dan
dirancang berdasarkan kaidah estetika Islam.
Secara
singkat, arsitektur adalah pengetahuan seni merancang (mendesain) bangunan.
Adapula yang mengartikan, arsitektur merupakan perkara bangun-membangun,
perkara merangkai dan menegakkan bahan satu dengan bahan lain untuk melawan
gravitasi yang cenderung menarik rebah ke tanah.
Sedangkan
arsitektur Islam adalah arsitektur yang berangkat dari konsep pemikiran Islam.
Inti dari ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist, dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa arsitektur Islam juga memiliki inti yang sama. Dalam
kategori ini arsitektur Islam yang dimaksud terkait dan terikat dengan suatu
zaman atau periode tertentu atau kaum tertentu, jadi dapat dikatakan arsitektur
Islam adalah abadi dan borderless atau tidak terbatas pada daerah
tertentu bagi kaum tertentu.
Arsitektur
Islam sebagai cerminan budaya sosial kultural ummah (masyarakat Islam) yang
tengah berkembang pada periode waktu dan tempat tertentu (selanjutnya kita
sebut arsitektur budaya Islam Jawa).
Hasil karya utama
dalam seni arsitektur Islam adalah masjid sebagai konsekuensi dari ajaran Islam
yang mengajarkan shalat dan masjid sebagai tempat pelaksanaannya. Kemudian
muncul bangunan-bangunan lain di luar masjid yang juga masih merupakan
rangkaian ungkapan kehidupan Islam sebagai fasilitas yang menampung kebutuhan
manusia, yaitu istana- istana, bangunan benteng pertahanan, dan makam- makam.[1]
B.
Sejarah
Arsitektur Islam di Jawa
Dalam sejarah
peradaban Islam, masjid di anggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam,
yakni dengan di bangunnya masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebagai masjid yang
pertama.[2]
Masjid Quba merupakan
masjid yang pertama di jadikan kiblat (panutan) oleh masjid-masjid yang ada sesudahnya.
Masjid Quba ini menampilkan pola dasar arsitektur masjid yang lebih mengedepankan
makna dan fungsi minimal yang harus terpenuhi dalam sebuah bangunan masjid
yaitu lapangan yang luas untuk tempat berkumpul dan beribadah. Pada awalnya
bangunan masjid Quba sangatlah sederhana, dengan lapangan terbuka sebagai intinya,
dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah lapangan
terdapat sumber air untuk bertujuan bersuci.
Sementara itu,
sebelum Islam masuk di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam hal
karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai seni asli Jawa maupun jenis
bangunan seperti kuburan, candi, keraton, benteng, rumah joglo, relief pada
bangunan gapura, tata wayang pada rumah, dan padepokan.
Masjid menjadi
bangunan yang penting dalam sajian Islam seiring dengan tumbuhnya Islam di
berbagai tempat. Masjid juga bisa dijadikan sebagai sarana penanaman budaya
Islam. Oleh karena itu, ketika Islam masuk di Jawa arsitektur Jawa tidak dapat
dinafikan oleh Islam. Agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka
simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, sebagai hasil
berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan
keunggulan Muslim Jawa dalam karya arsitektur.[3]
Sebagai hasil
proses asimilasi keduanya, bangunan-bangunan masjid itupun mengalami perubahan
dengan adanya penambahan menara, makam disekitar masjid, gapura, hiasan
kaligrafi, interior yang indah yang memperlihatkan perbedaan tampilan fisiknya.
Hal tersebut terlihat pada bentuk atap bersirap pada bangunan masjid di Jawa.
C.
Macam-Macam Arsitektur Jawa Islam
1.
Masjid
Masjid merupakan tempat kaum muslimin
beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Masjid juga sebagai tempat
kaum muslimin beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina
kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin/ keagamaan sehingga selalu
terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian.[4]
Di berbagai tempat
dimana Islam tumbuh, masjid telah menjadi bangunan penting dalam syiar Islam.
Masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam
pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni
kebudayaan yang dibawa oleh para penyebar Islam yang terpaterai oleh ajaran
Islam dan kebudayan lama yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat. Di sini terjadilah
asimilasi yang merupakan keterpaduan antara kecerdasan, kekuatan, watak yang
disertai oleh spirit Islam yang kemudian memunculkan kebudayaan baru yang
kreatif, yang menandakan kemajuan pemikiran dan peradabannya. Oleh karena itu keragaman
bentuk arsitektur masjid jika dilihat dari satu sisi merupakan pengayaan terhadap
khazanah arsitektur Islam, pada sisi yang lain arsitektur masjid yang bernuansa
lokal secara psikologis telah mendekatkan masyarakat setempat dengan Islam.[5]
2.
Makam
Di Jawa, makam merupakan salah satu tempat
yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak
arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai
batunisan seperti makam Fatimah binti Maimun, 1419. Ada pula yang diberi cungkup
dan diberi hiasan-hiasan dan kelambu seperti makam Sunan Kudus, Raden Patah dan
Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Muria, Sunan Giri dan Sunan Ampel, dan ada pula
makam yang dikijing.[6]
Makam pada
budaya Jawa biasanya disimbolkan dengan batu nisan sebagai penandaan
orang yang dikebumikan pada makam tersebut. Macam-macam batu nisan-pun berbeda,
dari seorang yang dianggap biasa sampai seorang dianggap mempunyai peran penting
di suatu daerah tersebut. Orang-orang yang penting atau terhormat didirikan rumah
yang indah dan megah.
3.
Tata Ruang
Kota Islam
Tata ruang kota di Jawa pasca kerajaan Hindu-Jawa
menggunakan konsep tata ruang yang berlandaskan pada filosofi Jawa yang muatan isinya
memakai konsep islam. Yaitu dengan menempatkan keratin, masjid, pasar dan penjara
dalam satu komunitas bangunan yang berpusat pada alun-alun. Penataan semacam ini
sampai sekarang masih terus data kita saksikan. Dimana hampir setiap kota di
Jawa yang dibangun pada kerajaan Islam, pusat pemerintahannya senantiasa beradadi
pusatkota yang terdapat alun-alun didepannya, masjid di sebelah barat, penjara dan
pasar di sekitarnya.[7]
D.
Pola Interalisasi Arsitektur Islam Jawa
Interalisasi Islam dalam arsitektur di Jawa
sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal Islam masuk di Jawa. Mengingat bahwa
salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni
arsitektur, diantaranya adalah bangunan masjid.
Sementara itu, sebelum islam masuk di Jawa
masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni
arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa maupun yang telah
dipengaruhi oleh Hindu Budha dimana Jawa telah berdiri berbagai jenis bangunan
seperti candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada bangunan
gapura, tata ruang desa/kota yang memiliki, konsep mencapat, hiasan tokoh
wayang pada rumah, kuburan, padepokan.
Oleh karena itu, Islam masuk diJawa keberadaan
arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak
dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar islam dapat diterima sebagai agama orang
Jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya
dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan
muslim Jawa dalam karya arsitektur.
1.
Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur masjid
a.
Adanya menara yang mirip dengan meru pada bangunan hindu.
Kata menara dari perkataan manara yang berasal dari bahasa arab nar
yang berarti api atau nur yang berarti bahaya. Awalan kata ma menunjukkan
tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau cahaya di atas. Akan tetapi
kemudian memiliki manfaat yang lain, yakni untuk mengumandangkan adzan guna
menyeru orang melakukan Shalat. Sugeng Haryadi menyatakan bahwa menara dalam
pandangan ulama sufi dikategorikan Manaru yaitu suatu bangunan yang
puncaknya digunakan untuk memancarkan cahaya Allah SWT (agama Islam). Kondisi ini
dapat kita temukan pada bangunan menara masjid Kudus (masjid al-Aqsha) yang
dibangun oleh Sunan Kudus dengan ciri yang khusus dan tidak didapatkan pada
bentuk bangunan masjid dimana pun, yakni bentuk bangunan menara mirip dengan
meru pada bangunan Hindu, lawang kembar pada bangunan utama masjid dan pintu
gapura serta pagar yang mengelilingi halaman masjid yang kesemuannya bercorak
bangunan Hindu dalam bentuk susunan bata merah tanpa perekat yang mengingatkan
pada bentuk bangunan kori pada kedhaton dikomplek kerajaan Hindu.
Bentuk
bangunan menara masjid Kudus yang demikian dimaksudkan untuk menarik simpati
masyarakat Hindu pada waktu itu memeluk Islam. Kecuali itu, menurut folklore,
bangunan tersebut menunjukkan keyakinan akan kedigdayaan sunan Kudus sebagai
penyebar islam dimana bangunan menara Kudus dipercaya sebagai bangunan yang
dibuat oleh Sunan Kudus dalam waktu semalam dan terbuat dari sebuah batu merah
yang terbungkus dalam sapu tangan berasal dari Makkah.
b.
Penggunaan
bentuk atap bertingkat (dua, tiga, atau lebih)
Selain menara
masjid Al-Aqsha di Kudus, bentuk bangunan masjid yang bercorak khas jawa yang
lain adalah bangunan masjid yang memakai bentuk atap bertingkat/ tumpang (dua,
tiga, lima, atau lebih), dan pondasi persegi. Pondasi yang persegi ini sisinya
tepat berada pada arah mata angin. Selain saka gurunya juga membentuk sebuah
persegi, terdapat pula ciri khas mimbar dengan pola ukiran teratai, mustaka
atau memolo, disebelah timur terdapat pintu masuk dan diperluas dengan adanya
serambi, ditengah-tengah tembok sebelah barat ada bangunan menonjol untuk
mihrab yang berbentuk lengkung pola kalamakara, dan dibagian selatan ada
bangunan tambahan yang dihubungkan dengan jendela dan pintu kebagian dalam yang
sering disebut dengan pawestren (karma) /pangwadon (Ngoko), yaitu tempat khusus
untuk sholat perempuan dan maksura yang merupakan tempat khusus untuk raja atau
sultan pada waktu salat jum’at.
Bentuk
bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang
keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yaitu Iman, Islam, dan
Ihsan. Adapun Norcholis Masjid menafsirkan sebagai lambang tiga jenjang
perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau permulaan
(purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi
(wasana), yang sejajar dengan jenjang vertical Iman, Islam, dan ihsan.Selain
iu, dianggap pula sejajar dengan syari’at, thoriqot dan ma’rifat.
Bangunan
pawestren pada masjid-masjid di Jawa pawestren dimasjid Kudus Kulon tidak
berada disebelah selatan, tetapi berada di sebelah utara dengan melewati pintu gerbang
kecil. Di masjid Mantingan tidak kita dapatkan pawestren ini, tetapi jika
dilihat dari bangunannya sekarang, masjid Mantingan ini merupakan bangunan
baru, meskipun bekas-bekas bangunan kunonya masih ada seperti batu kecil dengan
gambar binatang yang ditempelkan ditembok dan berasal dari masa peralihan
agama. Menurut Tudjimah ada kemungkinan masjid Mantingan lama dahulu juga
memiliki pawestren seperti masjid Giri yang memiliki pawestren yang antik,
mengingat adanya kemiripan yang menyolok antara kedua bangunan masjid tersebut.
c.
Adanya bedug
dan kentongan
Masjid diJawa
biasanya dilengkapi dengan bedug dan kentongan sebagai pertanda masuknya waktu
sholat, yang pada masanya dianggap sangat efektif sebagai sarana
komunikasi.Ciri-ciri bangunan masjid seperti itu dapat kita temui hampir dalam
semua bangunan masjid kuna di Jawa seperti masjid dekat makam raja Kuta Gede
dan Imogiri, masjid di Giri, masjid Demak, dan kebanyakan masjid-masjid di
Jawa.[8]
2.
Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur makam
Biasanya
disekitar komplek masjid di Jawa juga
terdapat bangunan makam. Makam yang
terdapat di sekitar masjid adalah makam para tokoh islam yang hidup disekitar
masjid tersebut berada seperti masjid kudus yang berada satu kompleks dengan
makam sunan Kudus, masjid Demak satu
kompleks dengan makam Raden Patah, dan
sebagainya.
Di Jawa, makam
merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung
dikeramatkan. Dilihat dari
corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai batu
nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, 1428, atau makam Maulana Malik
Ibrahim di Gresik,1419. Ada pula yang diberi cungkup dan diberi
hiasan-hiasan dan kelambu seperti makam Sunan Kudus, Raden Patah, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, dan ada pula makam yang dikijing.
Adapun
penempatannya ada yang menyatu dengan komplek masjid seperti makam Sunan Kudus,
makam Raden Patah, makam Sunan Muria, Sendang Duwur, dan Ampel. Juga ada yang ditempatkan dipuncak bukit
seperti komplek neoporole raja-raja Mataram Imogiri, Astana Giribangun
Mangadeng di Matesih, dan
Makam Sunan Muria di Gunung Muria. Kondissi ini
menyerupai bangunan pura yang didalamnya terdapat abu pembakaran mayat yang
diletakkan pada tempat yang tinggi pada tradisi Hindu.
Bangunan makam
sunan Kudus yang arealnya dikelilingi bangunan berlapis-lapis mengingatkan kita
pada bentuk bangunan kedhaton pada zaman kerajaan Hindu dengan lawang
korinya.Tampilnya berbagai seni hias dan steretipe candi pada beberapa makam di
Jawa menunjukkan adanya bukti interelasi budaya Jawa dan Islam dalam arsitertuk
makam, mengingat bahwa dalam Islam sebenarnya terdapat tradisi penguburan
jenazah yang didasarkan pada hadits nabi seperti:
a.
Kuburan lebih
baik ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui (HR Baihaqi)
b.
Membuat tanda
kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR Abu Daud)
c.
Dilarang
menembok kubur (HR at-Tirmidzi dan Muslim)
d.
Dilarang
membuat tulisan diatas kubur (HR An Nasai)
e.
Dilarang
membuat bangunan diatas kubur (HR Ahmad dan Muslim)
f.
Dilarang
menjadikan kuburan sebagai masjid (HR Bukhari muslim)
Hadits-hadits
tersebut tentunya harus dipandang sebagai kaidah normative islam, sedangkan
dalam realitas makam Islam di Jawa, kaidah tersebut ada yang tidak
diberlakukan.hal tersebut mengingatkan bahwa dalam tradisi pra Islam hampir
tidak mengakui kematian.Dan karenanya ia sering disamarkan atau ditafsirkan
dengan “kembali kealam dewa”, “hilang” “sirna”, dan sebagainya.Dan karena makam
tidak dianggap sebagai kubur sebagai mana konsep islam, tetapi sebagai tempat
tidur panjang (pasarean),”astana”, atau “tempat ketenangan”.
Sejak islam
memiliki sebuah wilayah, maka sebenarnya sejak itu islam telah mulai memiliki
kemampuan dalam menata wilayahnya.Sama halnya ketika umat islam memilki wilayah
di Jawa ini, maka merekapun mulai menata kota dengan perangkat bangunan yang
menjadi kepentingannya.[9]
3.
Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur tata ruang kota
Sebagai sebuah
kerajaan Islam di Jawa, Mataram yang merupakan kelanjutan dari penguasa
kerajaan sebelumnya (Hindu Majapahit) memiliki tata
bangunan kota yang sangat dipengaruhi oleh nilai lokal yang telah ada, dan tata
nilai baru yang dibawa oleh Islam.
Dalam
pemikiran Jawa, Keraton merupakan pusat jagat raya. Pola pengaturan di dalam keraton tidak terlepas dari usaha raja
untuk menyelaraskan kehidupan warga masyarakat keraton dengan jagad raya itu. Dengan demikian, maka bangunan itu merupakan
lambang yang penuh arti. Pengaturan
bangunan dilakukan dengan pola tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis,
diapit oleh dua lainnya, yang terletak didepan dan belakangnya atau kanan dan
kirinya.Pengapitan itu dapat berjumlah empat atau delapan yang ditempatkan
sesuai dengan arah mata angin.
Oleh karenanya
tata ruang kota di Jawa pasca kerajaam Hindu jawa menggunakan konsep tata ruang
yang berlandaskan pada filosofi Jawa muatan isinya memakai konsep Islam. Hal ini terlihat dengan penggunaan konsep
mancapat dalam tata ruang desa-desa di Jawa, tetapi unsur-unsur mancapatnya
dengan nilai ajaran islam, yaitu dengan menempatkan keraton, masjid, pasar, dan
penjara dalam satu komunitas bangunan yang berpusat dialun-alun.
Konsep tata
ruang seperti ini mengingatkan kepada penguasa/adipati/ raja serta rakyat bahwa
rakyat harus taat kepada ulil amri dan ulil amri harus taat kepada Allah serta
memegang teguh amanat allah, dan keduanya harus sama-sama mengabdi dan
beribadah kepada Allah dengan melakukan sholat. Siapapun berkhianat dan berbuat jahat akan
diadili ditengah-tengah alun-alun dan akan masuk kedalam penjara dunia sebagai
gambaran penjara neraka di akhirat atas balasan bagi orang yang jahat,
sedangkan munculnya pasar adalah sebagai penyeimbang kehidupan manusia
sebagaiman konsep Islam, “carilah kebahagiaan didunia dan akhirat, serta
berusahalah kamu seakan kamu akan hidup didunia selamanya dan beribadahlah kamu
seakan engkau akan mati esok hari”.
Kecuali itu
cirri-ciri khas jalan-jalan yang membelah dari pusat alun-alun dan perkampungan
yang dihuni oleh komunitas orang santri yang disebut kauman telah menjadi ciri
khas tata kota di Jawa.[10]
IV.
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Arsitektur Islam adalah pengetahuan seni merancang bangunan yang berangkat
dari konsep pemikiran Islam.
2.
Sejarah arsitektur Islam berawal dari pembangunan masjid Quba pada masa
Rasulullah sebagai masjid pertama.
Sementara itu, sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki
kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur. Oleh karena itu, ketika Islam
masuk di Jawa, arsitektur Jawa tidak dapat dinafikan oleh Islam. Jadi, agar
Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir
dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, sebagai hasil berasimilasinya dua
kebudayaan.
3.
Macam-macam arsitektur Jawa Islam yaitu masjid, makam, tata kota Islam.
a.
Interrelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur masjid :
1)
Adanya menara yang mirip dengan meru pada bangunan hindu.
2)
Adanya lawang kembar, pintu gapura dan pagar bercorak Hindu
3)
Penggunaan
bentuk atas bertingkat/ tumpang dan pondasi persegi
4)
Adanya pawastren
5)
Adanya bedug dan kentongan
b.
Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur makam :
1)
Penggunaan penanda pada makam seperti batu nisan dan ada pula
yang diberi cungkup.
2)
Ditempatkannya makam di tempat yang tinggi.
3)
Adanya bangunan berlapis di sekeliling makam
4)
Adanya candi pada beberapa Makam di Jawa
5)
Penggunaan istilah pesarean (tempat tidur panjang)
6)
Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur istana :
7)
Bahan yang digunakan adalah dinding bata yang memang amat tua
8)
Biasanya berupa empat buah tiang menyangga atap sirap menutupi lantaberupa
empat buah tiang menyangga atap sirap menutupi lantai seluas kira-kira 4x4
meter persegi
9)
Bangunan yang menghadap ke Timur dan di depannya ada sebuah kolam penuh
hiasan berpola mega mendung
10)
Di depan kolam ada pekarangan kecil dan di seberangnya ada suatu peninggian
tanah (batur) yang diduga adalah semacam pendopo
c.
Interelasi Islam dan Jawa dalam arsitektur tata kota Islam :
1)
Biasanya terdapat alun-alun yang menjadi pusat keramaian kota
2)
Di dekat alun-alun terdapat bangunan Masjid besar
3)
Terdapat pula Pendopo yang menjadi pusat pemerintahan
4)
Tidak jauh dari alun-alun, terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan
B. Saran
Demikianlah makalah mengenai “Interrelasi
Nilai Islam Dengan Budaya Jawa Dalam Bidang Arsitektur” ini penulis susun,
semoga dapat menambah wawasan baik bagi penulis maupun pembaca. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu
kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan guna perbaikan karya
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ayub, Mohammad
E.,Manajemen Masjid, Jakarta: GemaInsani, 2007.
Amin, M.
Darori, Islam dan KebudayaanJawaa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
http://baihaqi-annizar.blogspot.com/2014/11/interrelasi-nilai-jawa-dan-islam-pada.html, diakses
pada tanggal 23 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.
BIODATA
PEMAKALAH
Nama : Hidayati
Azizah Ernawati
Nim :
133511050
Jurusan/Prodi : Pendidikan Matemematika
Tempat Tanggal Lahir : Pati, 05 November 1995
Riwayat Pendidikan :
1. TK Darma Wanita Tondomulyo
Jakenen
2. SDN Tondomulyo Jakenan Pati
3. MTs N Winong Pati
4. SMA N Jakenen Pati
5. UIN Walisongo Semarang
Alamat :
Tondomulyo Jakenan Pati
Nomor telepon :
085640969277
Email : hidayati01@gmail.com
Nama : Moch.
Asyroful Minan
Nim :
133511054
Jurusan/Prodi : Pendidikan Matemematika
Tempat Tanggal Lahir : Rembang, 14 Februari 1995
Riwayat Pendidikan :
1. TK Sridadi Rembang
2. SDN Sridadi Rembang
3. MTs Mu’allimin Mu’allimat Rembang
4. MA Mu’allimin Mu’allimat Rembang
5. UIN Walisongo Semarang
Alamat :
Desa Sridadi Ngampo Rembang
Nomor telepon :
085640947922
Nama :
Irma Farikhah
NIM :
133511057
Jurusan :
Pendidikan Matematika
Tempat, Tanggal Lahir : Jepara, 29 Desember 1994
Pendidikan :
-
MI Miftahl
Huda Jlegong – Keeling – Jepara
-
Mts Darul
Falah Sirahan – Cluwak – Pati
-
MA Darul Falah
Sirahan – Cluwak – Pati
-
UIN Walisongo
Semarang
Alamat : Desa Jlegong RT/RW.
09/03 Kec. Keling Kab. Jepara
Nomor HP :
085712255539
Nama : Rosaliatul
Ulfa Ardie
Nim :
133511058
Jurusan/Prodi : Pendidikan Matemematika
Tempat Tanggal Lahir : Demak, 22 Januari 1996
Riwayat Pendidikan :
1. MI Nurul Ittihad Babalan
2. MTs. Nurul Ittihad Babalan
3. SMA Islam Sultan Agung 2 Jepara
4. UIN Walisongo Semarang
Alamat :
Babalan RT/RW 03/05 Wedung Demak
Nomor telepon : 083842331191
Email : rosa.ulfardie@gmail.com
Nama : Nailil
Muna Auliya
Nim :
133511045
Jurusan/Prodi : Pendidikan Matemematika
Tempat Tanggal Lahir : Kudus, 05 Oktober 1995
Riwayat Pendidikan :
1. RA Hidayatul Mustafidin
2. MI Hidayatul Mustafidin
3. MTs. Hidayatul Mustafidin
4. MAN 2 Kudus
4. UIN Walisongo Semarang
Alamat :
Lau, Dawe, Kudus
Nomor telepon :
087746603187
[1] Baihaqi An-nizar, Interelasi Nilai Jawa
dan Islam, http://baihaqi-annizar.blogspot.com/2014/11/interrelasi-nilai-jawa-dan-islam-pada.html diakses pada tanggal 23
Maret 2015 pukul 13.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar