Cari Blog Ini

Senin, 22 Juni 2015

LAPORAN OBSERVASI MUSEUM RANGGAWARSITO

LAPORAN OBSERVASI MUSEUM RANGGAWARSITO
Interelasi Islam dan Jawa dalam aspek arsitektur
Interelasi Islam dalam arsitektur Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat sejak masuknya Islam di pulau Jawa, mengingat bahwa salah satu sarana masuknya islam di Jawa adalah melalui aspek seni yaitu arsitektur, salah satu contoh arsitektur adalah bangunan masjid. Ciri masjid di jawa biasanya dilengkapi dengan bedug dan kentongan yang digunakan untuk tanda masuknya waktu sholat, yang pada waktu itu bedug dan kentongan merupakan alat yang paling efektif yang digunakan untuk alat komunikasi mengingat pada waktu itu alat-alat yang digunakan masih sangat sederhana. Ciri-ciri bangunan masjid seperti itu masih dapat ditemukan di masjid-masjid di Jawa.
Bentuk bangunan masjid yang mempunyai atap tingkat tiga seperti masjid agung Demak diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek yaitu: iman, islam dan ihsan.
Walaupun Islam belum masuk ke pulau Jawa, masyarakat Jawa sudah mampu melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai Jawa asli maupun yang telah dipengaruhi oleh hindu-budha. Oleh karena itu arsitektur Jawa yang telah berkembang dalam konsep dan filosofi Jawa tidak dapat dinafi’kan walaupun agama Islam mulai berkembang di Jawa. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa, simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa sehingga muncul kreatifitas untuk memadukan budaya yang ada sebelum Islam masuk dengan budaya Islam menjadi karya seni arsitektur baru sebagi contohnya yaitu masjid menara Kudus.
Masjid yang didirikan pada tahun 965 H atau 1549 M dengan nama asli masjid al-Aqsha yang konon sunan Kudus ata Ja’far Sodiq pernah membawa kenang-kenangan dari Baitul Maqdis di Palestina untuk batu pertama pembangunan masjid tersebut.
Menara Kudus mamiliki ketinggian sekitar 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m. Di sekeliling bangunan dihias dengan piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sementara itu 12 buah lainya berwarna marah putih berlukiskan kembang. Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M.
Bangunan dan hiasanya jelas menunjukan adanya hubungan dengan kesenian  hindu Jawa karena bangunan menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian yaitu: (1) kaki, (2) badan, (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit kecil. Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik kontruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk bangunan berkontruksi kayu jati dengan empat batang saka yang digunakan sebagai penopang.
Kaunikan masjid menara Kudus sebagai hasil asimilasi arsitektur Jawa dengan Islam memiliki keunikan tersendiri yaitu:
1.        Bercorak candi
Seperti yang dijelaskan di atas masjid menara Kudus memperlihatkan system, bentuk, elemen bangunan Jawa hindu yaitu bercorak candi Hindu Mjapahit. Pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen.
2.        Detail menara
Permukaan bidang menara yang Nampak menjadi seni tersendiri dari penataan susunan material bata expos. Menara pada masjid menara Kudus mengingatkan pada kuil-kuil di Bali, jelaslah bercorak bangunan candi. Meskipun menara masjid ini tertua di Jawa, namun hingga saat ini belum ada yang dapat memberikan keterangan kapan waktu dibangunnya secara jelas.
3.        Gerbang kori agung
Bentuk gerbang jelas mengingatkan gerbang-gerbang bangunan hindu, yaitu sekuensialnya yang berkelok karena terdapat aling-aling yang juga biasa terdapat pada kompleks bangunan hindu. Gerbang-gerbang itu menandai dan memberi batas makna ruang profane dan sacral. Gerbang-gerbang tersebut yakni kori agung dan bentar yang keduanya mirip seperti gapura di Bali sehingga gerbang diberi nama “lawing kembar”.
4.        Pancuran wudlu kuno
Lubang pancuran kuno yang berbentuk kepala arca yang digunakan sebagai tempat wudlu. Bentuk arcanya sering kali dikaitkan dengan kepala sapi yang diberi nama “kerbau gumarang”, karena binatnag sapi dulunya diagungkan oleh orang-orang hindu di Kudus, bahkan sampai saat ini mereka banyak yang menjadi muslim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar